Dari Ummu Sulaiman ra., bahwa Nabi SAW. berkata kepadanya,
“Bersabarlah engkau! Demi Allah! Sejak tujuh hari ini keluarga Rasulullah SAW.
tidak mempunyai sesuatu pun untuk di makan, dan sudah tiga hari api tidak di
nyalakan di bawah panci mereka. Demi Allah! Seandainya aku meminta kepada Allah
agar bukit-bukit Tihamah dijadikan emas, pastilah Allah akan mengabulkannya.”
Dengan riwayat-riwayat ini, apakah dapat dikatakan bahwa
Rasulullah SAW. telah sengaja menzhalimi keluarganya, karena sibuk dalam
berdakwah sehingga menyebabkan keluarga beliau sendiri kelaparan hingga
berbulan-bulan? Na’udzubillah min dzalik!
Anak dan istri berpisah sementara untuk kepentingan agama
tidak hanya dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebagian istri-istri nabi pun
mengalaminya. Misalnya, Siti Hajar istri Ibrahim as. yang ditinggalkan
sendirian hanya bersama bayinya di tengah gurun pasir gersang tanpa ada
perbekalan yang mencukupi, semata-mata demi membantu tugas dakwah dan
perjuangan agama suaminya.
“(Ibrahim berkata), ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan
di dekat rumah-Mu yang dihormati.” (QS. Ibrahim 37)
Ibrahim as. tidak meninggalkan keluarganya untuk tiga hari,
empat puluh hari atau empat puluh bulan, tetapi beliau telah meninggalkan
keluarganya 13 tahun!
Dan ternyata, setelah diuji dengan harus meninggalkan anak
dan istrinya selama bertahun-tahun, demi menunaikan tugas dakwah dan menyeru
manusia kepada agama, justru lahir dari keturunan Ibrahim as., nabi-nabi dan
rasul-rasul Allah. Apakah kita akan katakan bahwa Ibrahim as. adalah lelaki
yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya dan menyia-nyiakannya?
Bagitu juga istri Nabi Musa as. yang ditinggalkan oleh Musa
as. sendirian di tengah hutan untuk berdakwah kepada Fir’aun.
Allah SWT berfirman, “Ketika ia (Musa as.) melihat api, lalu
ia berkatalah kepada keluarganya, “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku
melihat api. Semoga aku dapat membawa sedikit dengannya kepadamu atau aku akan
mendapat petunjuk.” (QS. Thaahaa 10)
Pada ayat selanjutnya Musa as. diperintah, “Pergilah kepada
Fir’aun sesungguhnya ia telah melampaui batas.”
Lalu apakah Nabi Musa as. juga di tuduh telah menzhalimi
keluarganya dan menyia-nyiakannya, karena telah meninggalkan istrinya di tengah
hutan belantara semata-mata karena ia telah diperintahkan untuk berdakwah
kepada Fir’aun selama 40 hari ?
Selain para Anbiya, keluarga para sahabat ra. juga telah
berbuat demikian, sebagaimana banyak tertulis di dalam kitab-kitab, salah satu
misalnya, adalah kisah hijrahnya Abu Bakkar ra. ke Madinah.
Asma’ binti Abu Bakar ra. meriwayatkan, “Ketika Rasulullah
saw. keluar untuk hijrah, Abu Bakar ra. pun ikut keluar berhijrah bersama
beliau. Abu Bakar membawa seluruh hartanya sebanyak 5000 atau 6000 dirham. Dia
pun pergi dengan membawa seluruhnya. Kemudian datanglah kakek kami; yaitu Abu
Quhafah ra.. Ia berkata, “Demi Allah, Abu Bakar itu pasti telah menyusahkan
kalian dengan harta dan dirinya.” Aku berkata, “Sama sekali tidak! Wahai kakek,
sesungguhnya ia telah meninggalkan banyak harta.” Maka aku ambil kerikil-kerikil
dan kuletakkan di tempat yang biasa ayahku menyimpan hartanya di lubang di
rumahnya. Lalu kututup dengan kain, dan kutuntun tangan kakekku, dan berkata,
“Ulurkan tanganmu ke sini, kek. “Dia berkata, “Kalau begini tidak masalah.
Sungguh dia telah meninggalkan ini untuk kalian. Dia sudah berbuat baik.”
Umar bin Khattab ra. berkata, Rasulullah SAW. menyuruh kami
bersedekah. Ini bertepatan dengan harta yang ada padaku. Aku berkata, “Jika
suatu hari aku akan menang di atasnya.” Lalu aku datang dengan setengah
hartaku, lalu Rasulullah SAW. bertanya, “Sepertiga.” Lalu datang Abu Bakar ra.
membawa seluruh harta yang ada padanya. Maka Rasulullah SAW. bertanya, “Wahai
Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk ahli keluargamu?” Abu Bakar menjawab,
“Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Berkata Umar, “Aku memang
tidak akan menang di atas Abu Bakar sedikit pun selamanya.”
Apakah Abu Bakar ra. divonis oleh Nabi SAW. sebagai suami
dan ayah yang dzhalim kepada keluarganya, karena ia tidak meninggalkan apapun
bagi keluarganya ketika berhijrah bersama Rasulullah SAW.? Bahkan justru
Rasulullah SAW. Tidak mengingkari pengorbanan Abu Bakar As-Shiddiq ra. Yang
menyerahkan seluruh hartanya karena beliau mengetahui kebenaran niatnya.
Tindakan Abu Bakar ra. Tidaklah menyalahi firman Allah
Al-Baqarah, ayat; 219, (Allah SWT berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”) karena
Allah mengakui pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang demi agama dan umat.
Juga seperti sahabat Anas bin Malik ra. Ia memiliki anak
yang sulit di hitung karena banyaknya. Ia pernah berkata, “Cucu-cucuku itu
mempunyai hitungan tersendiri. Tetapi aku sendiri telah menguburkan 125 anak
dari keturunanku. Selain itu, yang masih hidup pun banyak sekali.” Walaupun
demikian banyak tanggung jawab keluarga, terhadap istri dan anak-anaknya, ia
terkenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadist dan sering menyertai
jihad fisabilillah.
Demikian juga, Zubair bin Awwam ra. yang pada waktu mati
syahidnya, ia meninggalkan sembilan orang anak laki-laki, sembilan anak
perempuan, dan empat orang istri. Bahkan ada sebagian dari cucunya yang lebih
tua daripada anak-anaknya sendiri.
Meskipun demikian, ia merupakan salah seorang sahabat yang
banyak meriwayatkan hadist. Ia juga ikut serta dalam banyak peperangan.
Sekalipun mempunyai banyak tanggungan keluarga, namun anak-anak dan istrinya
itu tidak menghalanginya dari kesibukan memperjuangkan agama Allah.
Di dalam kisah lain, diriwayatkan Sa’ad bin Khaitsamah ra.
bercerita, “Aku tertinggal dari rombongan Rasulullah SAW. Yang ke Tabuk. Aku
pun kembali ke rumah. Di sana kudapati istriku sedang menyiram rumah dengan air
(agar menjadi sejuk), maka kukatakan kepada istriku, “Sungguh tidak adil kalau
aku masuk rumah dan beristirahat di tempat yang teduh, sedangkan pada saat ini
Rasulullah SAW. Sedang berada di tempat yang sangat panas.” Maka segera
kusiapkan kantong dan bekalku. Melihat hal itu, istriku berteriak, “Abu
Khaitsamah! Hendak kemana engkau?” Kujawab, “Menyusul Nabi SAW. Ke Tabuk.”
Setelah itu aku keluar, dan di tengah perjalanan, aku bertemu Umar bin Wahab,
lalu aku berkata kepadanya, “Sungguh kamu ini seorang pemberani. Aku ingin tahu
di mana Nabi SAW berada. Dan sungguh aku merasa berdosa. Karena itu berjalanlah
di belakangku agar dapat kutemui Nabi SAW. empat mata.” Umar pun berjalan
mengikuti dari belakang. Ketika aku mendekati pasukan itu, maka orang-orang melihatku
dari jauh dan berkata, “Ada seseorang mengendarai kuda ke arah kita!”
Rasulullah SAW. berkata, “Ya Rasulullah, celaka aku!” Kemudian kuceritakan
kisah perjalananku, maka Rasulullah SAW. mendoakan kebaikan untukku.”
Abu Naufal bin Abi ‘Aqrab menceritakan, “Ketika Harits bin
Hisyam akan berangkat dari Makkah menuju ke Syam, maka seluruh penduduk Makkah
sangat merisaukan kepergiannya. Semua orang kecuali anak-anak yang masih
menyusui mengantar kepergiannya ke luar kota Makkah. Ketika sampai di bukit
Bath-ha atau dekat tempat itu, maka dia berhenti, dan orang-orang merasa
bersedih, maka dia berkata, “Wahai kaumku! Demi Allah, sesungguhnya aku pergi
bukan karena lebih menyayangi diriku dari pada diri kalian, juga bukan karena
aku lebih memilih kota lain dari pada kota kalian. Tetapi aku pergi karena
memenuhi perintah agama untuk berjihad di jalan Allah, dan hingga saat ini
telah banyak kaum Quraisy yang telah mendahului aku pergi padahal mereka bukan
termasuk pemuka atau pun dari keluarga yang berkedudukan tinggi. Keadaan kita
sekarang ini, demi Allah! Sesungguhnya kita mengorbankan emas di jalan Allah
sebanyak gunung-gunung di kota Makkah, niscaya kita tidak akan melebihi pahala
satu hari mereka di jalan Allah. Demi Allah! Seandainya mereka mendahului kita
di dunia, maka sekurang-kurangnya kita dapat menyamai mereka di akhirat.
Sebaiknya orang yang beramal merasa takut kepada Allah dengan amalnya.” Setelah
itu diapun berangkat menuju ke Syam, dan dia juga membawa kerabatnya untuk ikut
serta dan ia tetap tinggal di sana hingga mati syahid, sehingga Allah
merahmatinya.”
Semua kisah di atas dengan tegas menunjukkan bahwa
meninggalkan keluarga untuk sementara demi kepentingan agama. Namun
penerapannya bagi kita perlu dilakukan dengan sebijak dan sehikmah mungkin,
sehingga maksud untuk menyebarkan agama menjadi terwujud dengan baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar