Da’wah hanya akan berhasil bila
dijalankan mengikuti cara Nabi. Sampai kapan pun Da’wah ya harus mendatangi dan
menjumpai umat, door to door, face to face. Sseperti sales menjajakan barang
maka da’i “menjajakan agama ” supaya orang-orang taat pada Allah. Ya, memang,
kini sudah ada media cetak elektronik dan teknologi informasi. Namun bila agama
hanya disampaikan lewat media tetapi tidak diantar (delivery) kepada umat maka
da’wah tidak akan berkesan lama. Sebuah iklan promosi mie instan baru dianggap
berhasil bila ada mie yang dibeli oleh orang dan dimakan di rumahnya. Demikian
pula agama, disampaikan lewat internet, lewat seminar, lewat majalah, lewat buku,
tetapi tetap saja agama Islam harus diantar kepada umat, door to door, face to
face, agar orang lebih mengetahui agama Islam dengan baik, dan ada kesan di
dalam dirinya. Bagaimana jadinya apabila Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya
hanya “asyik” duduk-duduk saja di Madinah ketika itu, sambil mengirimkan
selebaran-selebaran (semacam brosur/ leaflet) tentang artikel Islam, apakah
kita yang tinggal nun jauh di Indonesia sekarang ini akan mengenal dan memeluk
Islam? Boleh jadi mungkin kita masih menyembah batu, karena tidak ada orang
(da’i/ pendakwah) yang datang ke kita.
Tertib da’wah Nabi adalah tertib
yang sempurna, tidak perlu ditambah-tambah atau dikurangi. Tinggal dijalankan
saja. Kenapa kita harus risi mengikuti cara Nabi yang disebut sebagai ”konvensional”
oleh sebagian orang Islam sendiri? Seakan-akan dikatakan kuno dan ketinggalan
zaman. Apakah kita merasa lebih pintar dari Nabi, sehingga kita buat cara-cara
da’wah berdasarkan akal atau meniru-niru da’wahnya cara yahudi dan nasrani?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar