Berkelana
bukan hanya milik para petualang. Para santri Pondok Pesantren Al Fatah,
Temboro, Magetan, Jawa Timur juga suka melakukannya. Tetapi berkelananya bukan
sembarang kelana, sebab mereka mengemban misi mulia, yakni menebarkan rahmatan
lil ‘alamin.
Kebiasaan berkelana itu sudah sejak lama, bahkan sekarang sudah menjadi
‘tradisi’. Artinya setiap santri ‘wajib’ melakukannya, sebagai salah satu
bagian dari pendidikan, disamping menyebarluaskan Islam.
‘Keluar’ itu dilakukan secara berkelompok, terdiri dari 7 hingga 10 orang.
Biaya perjalanan dan hidup ditanggung sendiri dengan cara masing-masing anggota
melakukan iuran. Besarnya tergantu jauh dan lamanya berdakwah. Untuk menghemat
biaya, biasanya mereka membawa bekal sendiri, seperti beras, lauk pauk dan
perkakas dapur untuk memasak.
Biasanya, tempat yang mereka tuju adalah masjid, disitulah mereka menginap
sekaligus menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas. Misalnya, shalat, dzikir,
i’tikaf, tadarus Quran, dan ta’lim. Di sela-sela waktu, mereka berdakwah dari
rumah ke rumah milik kaum Muslimin di sekitar masjid.
Nurrahman merasakan manfaat setelah ikut ‘keluar’. “Seperti orang mengisi aki,
iman kita jadi bertambah,” ujarnya. Di samping itu, katanya, kesempatan itu
sekaligus digunakan untuk mengamalkan ilmu yang selama ini dipelajari di
pesantren, “Agar ilmu itu berkembang,” tambah santri yang lain.
Namun bagi santri yang belum pernah ‘keluar’ ada ganjalan tersendiri, yaitu rasa
malas. Itu diakui santri Alawi, santri asal Wonokromo Surabaya. “Tetapi setelah
beberapa kali ‘keluar’ rasanya nikmat sekali,” ujarnya. Nikmatnya seperti apa?
“Wah pokoknya nikmat lah,” katanya lalu tertawa.
Terletak sekitar 4 kilometer di belakang pabrik gula Gelodok, Al Fatah termasuk
pesantren tua, karena berdiri sejak jaman Belanda, tepatnya pada 1 Mei 1939.
Sebelum tahun 1990 perkembangan pesantren ini sangat lambat. Pada mulanya,
jumlah santri ‘hanya’ 400-an orang. KH Mahmud, pimpinan Al Fatah kala itu
membuat kebijakan baru, yaitu menyuruh para santrinya untuk ‘keluar’. Kebijakan
tersebut dilakukan pada 1990 setelah KH Mahmud kedatangan seorang asal India
yang bernama Mustaqim. Tamu ini merupakan salah satu aktivis Jamaah Tabligh
yang sedang mengadakan perjalanan dakwah di Indonesia. Saat pulang ke India, KH
Mahmud diajak serta untuk melihat perkembangan dakwah di sana. Begitu pulang ke
Indonesia, saat itu juga kebijakan tersebut dilaksanakan di Al Fatah.
Sekarang, Al Fatah dipimpin oleh KH Uzairon, seorang yang ditokohkan di Jamaah
Tabligh, khususnya di Jawa Timur. Setiap malam Jum’at ribuan aktivis JT dari
berbagai wilayah di Indonesia berkumpul di sini untuk mendengarkan
tausiyah-tausiyah Gus Ron, begitu ia biasa disebut jamaahnya.*/Fimadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar