Pertama: Pengantin pria hendaknya
meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kamu
menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu
bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya
Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku
berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan
shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah
berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan
Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula
(budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika
aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat
Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu
‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat.
Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu
Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu
Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’
‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun
maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya
mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan
mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu
berdua…!’”[2]
2. Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang
kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah
dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud
berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal
dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu
datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di
belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):
“Ya Allah, berikanlah keberkahan
kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah,
berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka
lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan
pisahkanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan
penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum
atau yang lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Asma’
binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias
‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya
datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah.
Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum,
gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya
dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata
kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’
(bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah
ia membaca do’a:
“Dengan menyebut nama Allah, Ya
Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan
Engkau karuniakan kepada kami.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari
hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.”
[5]
Kelima: Suami boleh menggauli
isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya : Isteri-Isterimu adalah
ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu
sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira
kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma
berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar
menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga
turunlah ayat kepada beliau:
“Isteri-Isterimu adalah ladang
bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…”
[Al-Baqarah : 223]
Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setubuhilah isterimu dari arah
depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya)
di dubur dan ketika sedang haidh”. [7]
Juga berdasarkan sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Silahkan menggaulinya dari arah
depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]
Seorang Suami Dianjurkan
Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja • Apabila suami telah melepaskan hajat
biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan
hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan
keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin
mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Jika seseorang diantara kalian
menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia
berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
• Yang afdhal (lebih utama)
adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi’
radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan
rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan
sekali mandi saja?” Beliau menjawab.
“Ini lebih bersih, lebih baik dan
lebih suci.” [10]
• Seorang suami dibolehkan jima’
(mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau
malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya,
hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan
beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha-
yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’
dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,
“Sesungguhnya wanita itu
menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka,
apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan),
hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang
ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah
berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya
tergerak agar segera mendatangi isterinya – atau budak perempuan yang
dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya
menjadi tenang.” [13]
Akan tetapi, ketahuilah saudara
yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits
tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
““Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya
radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
ber-sabda kepada ‘Ali.
“Wahai ‘Ali, janganlah engkau
mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang
kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada
duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.
Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
“Artinya : Dan mereka menanyakan
kepadamu (Muhammad) tentang haidh.
Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu
yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah
kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka
sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah
menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang menggauli
isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi
dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]
Juga sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
“Dilaknat orang yang menyetubuhi
isterinya pada duburnya.” [17]
• Kaffarat bagi suami yang
menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah
berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi
isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus
bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau
seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang
sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Hendaklah ia bershadaqah dengan
satu dinar atau setengah dinar.’”[18]
• Apabila seorang suami ingin
bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain
pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
“Lakukanlah apa saja kecuali
nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]
• Apabila suami atau isteri ingin
makan atau tidur setelah jima’
(bercampur), hendaklah ia mencuci
kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal
ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila beliau hendak tidur
dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’
seperti wudhu’ untuk shalat. Dan
apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci
kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha,
ia berkata,
“Apabila Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya
dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk shalat.” [21]
• Sebaiknya tidak bersenggama
dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat
membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi
bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat
masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang
mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada
seorang pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan
rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri
dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini
dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang
menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek
kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling
jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan
isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan
rahasia isterinya.” [23]
Dalam hadits lain yang shahih,
disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan
kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti
syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia
menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa
membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat
atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri
menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada
seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya : “Maka
perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”
[An-Nisaa' : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah
pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita
yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya”.
[25]
[Disalin dari buku Bingkisan
Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________ Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2160), Ibnu Majah (no.
1918), al-Hakim (II/185) dan ia
menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu
‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam
al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal.
94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh
‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah
al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no.
2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919),
an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243,
283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan
untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri
pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan,
suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya
dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang,
maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil
Hadiits (II/209)) [7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i
dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60),
at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no.
4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala
Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan
al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini
dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi
(VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528),
Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri
radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang
lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal.
107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam
mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no.
1158), Adu Dawud (no. 2151),
al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348,
395) dan lafazh ini miliknya,
dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah
ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim
(IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan
isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639),
ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa’ (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan
oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2162) dan Ahmad (II/444 dan 479).
Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah
(no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh
Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122) [19]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no.
257), dari Shahabat Anas bin
Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad
(VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah
(no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221),
an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal.
109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69)
dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi
yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya
bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya
munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142).
Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang
menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad
(VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah
(III/211-212).
insyaAllah siap amal dan
sampaikan ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar