Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ulama sangat
memperhatikannya?
Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ
بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ
عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ
أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ
خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ
فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ
عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ
لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ
بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ
الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ
عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah
shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak
maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya
maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu
memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat wajibnya yang
kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan
demikian. (HR at-Tirmidzi).
Dari hadits tersebut, menjadi jelaslah betapa shalat sunnah Rawâtib memiliki
peran penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang melanda shalat
wajib seseorang. Terlebih lagi harus diakui sangat sulit mendapatkan kesempurnaan
tersebut, sehingga Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ
إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا
ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya
sepersepuluh shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya,
seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya. (HR Abu
Dawud dan Ahmad).
KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Ada beberapa hadits Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan
keutamaan shalat sunnah Rawâtib secara umum, dan ada juga yang khusus pada satu
shalat sunnah Rawatib tertentu, seperti keutamaan shalat sunnah sebelum Subuh.
Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum,
ialah hadits Ummu Habîbah, yang berbunyi:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ
يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ
ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا
بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا
فِي الْجَنَّةِ
Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka'at
shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah
di surga.3
Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari
hadits Ummu Habibah sendiri, yang berbunyi:
قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ
عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ
بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعًا
قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ الْفَجْرِ
Ummu Habibah berkata,"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan
membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum Zhuhur dan
dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua raka'at sesudah
'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh'."
Dalam riwayat lain dengan lafazh :
مَنْ ثَابَرَ عَلَى اثْنَتَيْ
عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ لَهُ بَيْتًا فِي
الْجَنَّةِ
Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at, maka Allah
membangunkan baginya sebuah rumah di surga. (HR an-Nasâ-i).
Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan
shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang
membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam
keutamaan tersebut. Dan ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shollallahu
'alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar berikut ini.
حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي
بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي
بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ
وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ
أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ
الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at
sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua
raka'at setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu
tidak dapat menemui Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan
kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa
sallam shalat dua raka'at.4
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh:
وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَأَمَّا
الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ فَفِي بَيْتِهِ
Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan
'Isya dilakukan di rumahnya.5
Dalam riwayat Muslim berbunyi:
فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ وَالْجُمُعَةُ فَصَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ
Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan bersama
Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya.6
JUMLAH RAKA'AT SUNNAH RAWÂTIB
Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama
terdapat perselisihan pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini
dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.
Pertama, menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu
'Umar radhiallahu'anhu tersebut, dan inilah pendapat para ulama madzhab
Hambaliyah dan Syafi'iyyah.7
Kedua, menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu
Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.
Ketiga, menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan
melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat
sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.
Keempat, menyatakan jumlah raka'atnya delapan belas. Demikian ini pendapat Imam
asy-Sya-irazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû' Syarhul-Muhadzdzab.
Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di atas, serta hadits Ummu
Habibah lainnya yang berbunyi:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَافَظَ
عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ
بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
Aku mendengar Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Barang
siapa yang menjaga empat raka'at sebelum Zhuhur dan empat raka'at setelahnya
maka Allah mengharamkannya dari neraka."9
Juga hadits yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ
امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ
أَرْبَعًا
Dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu , dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam
beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum
'Ashar empat raka'at".10
Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling sempurna dalam
Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas
raka'at, sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Sya-irazi), dan paling sedikit
adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang
berpendapat delapan raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini
pendapat al-Khudari. Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu)
dengan menambah dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua
raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada
pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.11
Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib
sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau
sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam .
Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka'at, sebagaimana disampaikan Imam
an-Nawawi di atas.
Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?
Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang disampaikan oleh
Syaikh Ibnu 'Utsaimin12, yaitu duabelas raka'at dengan perincian dua raka'at
sebelum Subuh, empat raka'at sebelum Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua
raka'at setelah Maghrib, dan dua raka'at setelah 'Isya`, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Ummu Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi:
Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur.13
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu yang
menerangkan bahwa beliau radhiallahu'anhu hafal dari Nabi sepuluh raka'at.
Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu, Nabi
shollallahu 'alaihi wa sallam selalu menjaga sepuluh raka'at pada waktu muqim.
Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar . . . , dan beliau shollallahu 'alaihi wa
sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum Zhuhur, sebagaimana dijelaskan
dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam tidak
pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan
bahwasanya bila Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau
shollallahu 'alaihi wa sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid,
maka shalat dua raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan
bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat
begitu, kemudian 'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa yang
dilihatnya".14
Adapun Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap
hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat raka'at sebelum
Zhuhur', tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar yang terdapat pernyataan
'dua raka'at sebelum Zhuhur'. Letak komprominya, terkadang beliau shollallahu
'alaihi wa sallam shalat dua raka'at dan terkadang empat. Kemudian
masing-masing dari mereka berdua (Ibnu 'Umar dan 'Aisyah), masing-masing
menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini
terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."15
FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Sebagaimana telah diuraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib ini
didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi
shalat fardhu. Demikian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin memberikan
definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah shalat sunnah Rawatib ini, beliau
memberikan penjelasan: "Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi)
kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu".
Sedangkan Syaikh 'Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam
(2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan
keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan,
meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu. Sehingga Syaikh
al-Basâm mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan dan
menjaga kesinambungannya.
Wallahul-Muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar