Allah Ta'ala berfirman pula: "Samasekali tidak akan
sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi
akan sampailah padaNya ketaqwaan dari engkau sekalian." [1] (al-Haj:
37)
Allah Ta'ala berfirman pula: "Katakanlah - wahai
Muhammad [2], sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam
hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh
Allah." (ali-Imran: 29)
1. Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab
bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi
bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda [3]: "Bahwasanya semua amal perbuatan itu
dengan disertai niat-niatnya dan bahwasanya bagi setiap orang itu apa yang
telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan
RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang
hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehnya, ataupun untuk seorang
wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud
dalam hijrahnya itu." (Muttafaq 'alaih -disepakati atas keshahihannya
hadits ini karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Muttafaq 'alaih = diriwayatkan oleh dua orang imam ahli
hadits yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin
Bardizbah Alju'fi Al-Bukhari, -lazim disingkat dengan Bukhari saja- dan
Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, -lazim
disingkat dengan Muslim saja- radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab
masing-masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab hadits yang
dikarangkan.
Keterangan:
Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat.
Rasulullah s.a.w. menyabdakannya itu ialah karena diantara para sahabat Nabi
s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata
sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w. mengetahui
maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.
Oleh karena orang itu memperlihatkan sesuatu yang
bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian
itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang
dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara
terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan
tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang
lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik
yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama
dan keluhuran Kalimatullah. Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak
patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala
hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sabat beliau s.a.w. yang dengan
keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk
menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali karena hijrahnya
memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun
datangnya hadits itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika
ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin
berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap
sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam
hati, ialah seperti ketika mengambil air shalat atau wudhu', mandi, shalat dan lain-lain
sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat
mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia
mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seorang itu berniat hendak melakukan
sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun
tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan hadits yang berbunyi: "Niat
seorang itu lebih baik daripada amalannya." Maksudnya: Berniatkan sesuatu
yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan
itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan,
tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,
agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam
mujtahidin. Imam-imam Syafi'i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam
segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu',
tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan)
seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya
mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja
sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan
sudah dianggap sah. Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam
mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran,
menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz
(yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka
jika disertai niat agar kuat beribadah serta bertaqwa kepada Allah atau agar
kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadah bagi dirinya sendiri dan
keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak
disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah
pahalanya.
2. Dari Ummul mu'minin yaitu ibunya -sebenarnya adalah
bibinya- Abdullah yakni Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada sepasukan tentara yang hendak memerangi
-menghancurkan- Ka'bah, kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari
tanah lapang lalu dibenamkan -dalam tanah tadi- dengan yang pertama sampai yang
terakhir dari mereka semuanya." Aisyah bertanya: "Saya berkata, wahai
Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang
terakhir, sedang diantara mereka itu ada yang ahli pasaran -maksudnya para
pedagang- serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi -yakni
tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?" Rasulullah s.a.w. menjawab:
"Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian
nantinya mereka itu akan diba'ats -dibangkitkan dari masing-masing kuburnya-
sesuai niatnya masing-masing." Disepakati atas hadits ini (Muttafaq
'alaih) -yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim-.
Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Keterangan:
Sayidah Aisyah diberi gelar Ummul mu'minin, yakni ibunya
sekalian orang mu'min sebab beliau adalah istri Rasulullah s.a.w., jadi sudah
sepatutnya. Beliau juga diberi nama ibu Abdullah oleh Nabi s.a.w., sebenarnya
Abdullah itu bukan puteranya sendiri, tetapi putera saudarinya yang bernama
Asma'. Jadi dengan Sayidah Aisyah, Abdullah itu adalah kemenakannya. Adapun
beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang puterapun.
Dari uraian yang tersebut dalam hadits ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa seorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan
yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah
Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum itu, orang shalih itupun pasti
akan terkena pula. Jadi hadits ini mengingatkan kita semua agar jangan
sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan, kemungkaran dan
kezaliman.
Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai
sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.
Mengenai gelar Ummul mu'minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah
Aisyah radhiallahu 'anha belaka, tetapi juga diberikan kepada para istri
Rasulullah s.a.w. yang lain-lain.
3. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Nabi s.a.w.
bersabda: "Tidak ada hijrah setelah pembebasan -Makkah-[4], tetapi yang
ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk
keluar -oleh imam untuk berjihad,- maka keluarlah –yakni berangkatlah."
(Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Maknanya: Tiada hijrah lagi dari Makkah, sebab saat itu
Makkah telah menjadi perumahan atau Negara Islam.
4. Dari Abu Abdillah yaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari
radhiallahu'anhuma, berkata: Kita berada beserta Nabi s.a.w. dalam suatu
peperangan -yaitu perang Tabuk- kemudian beliau s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang engkau semua
tidak menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah,
melainkan orang-orang tadi ada besertamu -yakni sama-sama memperoleh pahala-,
mereka itu terhalang oleh sakit -maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut
berperang." Dalam suatu riwayat dijelaskan: "Melainkan mereka -yang
tertinggal itu- berserikat denganmu dalam hal pahalanya." (Riwayat Muslim)
Keterangan:
Hadis sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Anas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kita kembali dari
perang Tabuk beserta Nabi s.a.w., lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya ada
beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada menempuh kita sekalian
akan sesuatu lereng ataupun lembah, [5] melainkan mereka itu
bersama-sama dengan kita jua -jadi memperoleh pahala seperti yang berangkat
untuk berperang itu-, mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran."
5. Dari Abu Yazid yaitu Ma'an bin Yazid bin Akhnas
radhiallahu 'anhum. Ia, ayahnya dan neneknya adalah termasuk golongan sahabat
semua. Kata saya: "Ayahku, yaitu Yazid mengeluarkan beberapa dinar yang
dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi seorang di
dalam masjid. Saya -yakni Ma'an anak Yazid- datang untuk mengambilnya, kemudian
saya menemui ayahku dengan dinar-dinar tadi. Ayah berkata: "Demi Allah,
bukan engkau yang kukehendaki -untuk diberi sedekah itu." Selanjutnya hal
itu saya adukan kepada Rasulullah s.a.w., lalu beliau bersabda: "Bagimu
adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid –yakni bahwa engkau telah memperoleh
pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu- sedang bagimu adalah apa yang engkau
ambil, hai Ma'an -yakni bahwa engkau boleh terus memiliki dinar-dinar tersebut,
karena juga sudah diizinkan oleh orang yang ada di masjid, yang dimaksudkan
oleh Yazid tadi." (Riwayat Bukhari)
6. Dari Abu Ishak, yakni Sa'ad bin Abu Waqqash, yakni Malik
bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai
al-Qurasyi az-Zuhri r.a., yaitu salah satu dari sepuluh orang yang diberi
kesaksian akan memperoleh syurga radhiallahu 'anhum, katanya: Rasulullah s.a.w.
datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada' -yakni haji Rasulullah
s.a.w. yang terakhir dan sebagai haji pamitan- karena kesakitan yang menimpa
diriku, lalu saya berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saja kesakitanku
ini telah mencapai sebagaimana keadaan yang Tuan ketahui, sedang saya adalah
seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang
puteriku saja. Maka itu apakah dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua
pertiga hartaku?" Beliau menjawab: "Tidak dibenarkan." Saya
berkata pula: "Separuh hartaku ya Rasulullah?" Beliau bersabda:
"Tidak dibenarkan juga." Saya berkata lagi: "Sepertiga,
bagaimana ya Rasulullah?" Beliau lalu bersabda: "Ya, sepertiga boleh
dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau
engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya, maka itu adalah lebih
baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta
pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan
niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan diberi
pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan istrimu."
Abu Ishak meneruskan uraiannya: Saya berkata lagi: "Apakah saya
ditinggalkan -di Makkah- setelah kepulangan sahabat-sahabatku itu?" Beliau
menjawab: "Sesungguhnya engkau itu tiada ditinggalkan, kemudian engkau
melakukan suatu amalan yang engkau maksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah,
melainkan engkau malahan bertambah derajat dan keluhurannya. Barangkali
sekalipun engkau ditinggalkan -karena usia masih panjang lagi-, tetapi nantinya
akan ada beberapa kaum yang dapat memperoleh kemanfaatan dari hidupmu itu
-yakni sesama kaum Muslimin, baik manfaat duniawiyah atau ukhrawiyah- dan akan
ada kaum lain-lainnya yang memperoleh bahaya dengan sebab masih hidupmu tadi
-yakni kaum kafir, sebab menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup sampai
dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur di situ dan
menjalankan hak dan keadilan. Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk
sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka itu dan janganlah engkau balikkan mereka
pada tumit-tumitnya -yakni menjadi murtad kembali sepeninggalnya nanti. Tetapi
yang miskin -rugi- itu ialah Sa'ad bin Khaulah.” Rasulullah s.a.w. merasa
sangat kasihan padanya sebab matinya di Makkah. (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Sa'ad bin Khaulah itu dianggap sebagai orang yang miskin dan
rugi, karena menurut riwayat ia tidak mengikuti hijrah dari Makkah, jadi rugi
karena tidak ikutnya hijrah tadi. Sebagian riwayat yang lain mengatakan bahwa
ia sudah mengikuti hijrah, bahkan pernah mengikuti perang Badar pula, tetapi
akhirnya ia kembali ke Makkah dan terus wafat di situ sebelum dibebaskannya
Makkah saat itu. Maka ruginya ialah karena lebih sukanya kepada Makkah sebagai
tempat akhir hayatnya, padahal masih di bawah kekuasaan kaum kafir. Ada lagi
riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah pula mengikuti hijrah ke Habasyah,
mengikuti pula perang Badar, kemudian mati di Makkah pada waktu haji wada'
tahun 10, ada lagi yang meriwayatkan matinya itu pada tahun 7 di waktu
perletakan senjata antara kaum Muslimin dan kaum kafir. Jadi kerugiannya di
sini ialah karena ia mati di Makkah itu, karena kehilangan pahala yang sempurna
yakni sekiranya ia mati di Madinah, tempat ia berhijrah yang dimaksudkan
semata-mata sebab Allah Ta'ala belaka.
7. Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr r.a.,
katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak
melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia
melihat kepada hati-hatimu sekalian." (Riwayat Muslim)
8. Dari Abu Musa, yakni Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. ditanya perihal seorang yang berperang dengan
tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang dengan tujuan
kesombongan -ada yang artinya kebencian- ada pula yang berperang dengan tujuan
pamer -menunjukkan pada orang-orang lain karena ingin berpamer. Manakah
diantara semua itu yang termasuk dalam jihad fisabilillah? Rasulullah s.a.w.
menjawab: "Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah
-Agama Islam- itulah yang luhur, maka ia disebut jihad fisabilillah."
(Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas dengan jelas menerangkan semua amal perbuatan
itu hanya dapat dinilai baik, jika baik pula niat yang terkandung dalam hati
orang yang melakukannya. Selain itu dijelaskan pula bahwa keutamaan yang nyata
bagi orang-orang yang berjihad melawan musuh di medan perang itu semata-mata
dikhususkan untuk mereka yang berjihad fisabilillah, yakni tiada maksud lain
kecuali untuk meluhurkan kalimat Allah, yaitu Agama Islam.
9. Dari Abu Bakrah, yakni Nufai' bin Haris as-Tsaqafi r.a.
bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda : "Apabila dua orang Muslim berhadap-hadapan
dengan membawa masing-masing pedangnya -dengan maksud ingin berbunuh-bunuhan-
maka yang membunuh dan yang terbunuh itu semua masuk di dalam neraka."
Saya bertanya: "Ini yang membunuh -patut masuk neraka- tetapi bagaimanakah
halnya orang yang terbunuh -yakni mengapa ia masuk neraka pula?"
Rasulullah s.a.w. menjawab: "Karena sesungguhnya orang yang terbunuh itu
juga ingin sekali hendak membunuh kawannya." (Muttafaq 'alaih)
10. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Shalatnya seorang lelaki dengan berjamaah itu melebihi
shalatnya di pasar atau rumahnya -secara sendirian atau munfarid- dengan
duapuluh lebih -tiga sampai sembilan tingkat derajatnya. Yang sedemikian itu
ialah karena apabila seorang itu berwudhu' dan memperbaguskan cara wudhu'nya,
kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke masjid itu melainkan hendak
bershalat, tidak pula ada yang menggerakkan kepergiannya ke masjid itu kecuali
hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya selangkah kecuali ia dinaikkan
tingkatnya sederajat dan karena itu pula dileburlah satu kesalahan daripadanya
-yakni tiap selangkah tadi- sehingga ia masuk masjid. Apabila ia telah masuk ke
dalam masjid, maka ia memperoleh pahala seperti dalam keadaan shalat, selama
memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid tadi, juga para
malaikat mendoakan untuk mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seorang dari engkau
semua, selama masih berada di tempat yang ia bershalat disitu. Para malaikat
itu berkata: "Ya Allah, kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia;
ya Allah, terimalah taubatnya." Hal sedemikian ini selama orang tersebut
tidak berbuat buruk -yakni berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain,
memukul dan lain-lain- dan juga selama ia tidak berhadas -yakni tidak batal
wudhu'nya. (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Dan yang tersebut di atas adalah menurut lafaznya Imam
Muslim. Sabda Nabi s.a.w.: Yanhazu dengan fathahnya ya' dan ha' serta dengan
menggunakan zai, artinya: mengeluarkannya dan menggerakkannya.
11. Dari Abul Abbas, yaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul
Muththalib, radhiallahu 'anhuma dari Rasulullah s.a.w. dalam suatu uraian yang
diceritakan dari Tuhannya Tabaraka wa Ta'ala -Hadis semacam ini disebut hadits
Qudsi- bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu mencatat semua kebaikan
dan keburukan, kemudian menerangkan yang sedemikian itu -yakni mana-mana yang
termasuk hasanah dan mana-mana yang termasuk sayyiah. Maka barangsiapa yang
berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, maka
dicatatlah oleh Allah yang Maha Suci dan Tinggi sebagai suatu kebaikan yang
sempurna di sisiNya, dan barangsiapa berkehendak mengerjakan kebaikan itu
kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah sebagai sepuluh kebaikan
di sisiNya, sampai menjadi tujuh ratus kali lipat, bahkan dapat sampai menjadi
berganda-ganda yang amat banyak sekali. Selanjutnya barangsiapa yang
berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak jadi melakukannya maka
dicatatlah oleh Allah Ta'ala sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya
dan barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan itu kemudian jadi
melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah Ta'ala sebagai satu keburukan saja di
sisiNya." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas menunjukkan besarnya kerahmatan Allah Ta'ala
kepada kita semua sebagai umatnya Nabi Muhammad s.a.w. Renungkanlah wahai
saudaraku. Semoga kami dan Anda diberi taufik (pertolongan) oleh Allah hingga
dapat menginsafi kebesaran belas-kasihan Allah dan fikirkanlah kata-kata ini.
Ada perkataan Indahuu (bagiNya), inilah suatu tanda kesungguhan Allah dalam
memperhatikannya itu. Juga ada perkataan kaamitah (sempurna), ini adalah untuk
mengokohkan artinya dan sangat perhatian padanya. Dan Allah berfirman di dalam
kejahatan yang disengaja (dimaksud) akan dilakukan, tetapi tidak jadi
dilakukan, bagi Allah ditulis menjadi satu kebaikan yang sempurna dikokohkan
dengan kata-kata "sempurna". Dan kalau jadi dilakukan, ditulis oleh
Allah "satu kejahatan saja" dikokohkan dengan kata-kata "satu
saja" untuk menunjukkan kesedikitannya, dan tidak dikokohkan dengan
kata-kata "sempurna". Maka bagi Allah segenap puji dan karunia. Maha
Suci Allah, tidak dapat kita menghitung pujian atasNya. Dan dengan Allah jualah
adanya pertolongan.
12. Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin
al-Khaththab radhiallahu 'anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama
berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna
bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar
dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahwasanya tidak
ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau
engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang
baik-baik. Seorang dari mereka itu berkata: "Ya Allah. Saya mempunyai dua
orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi
minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba
sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu -yang dimaksud
daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua
itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus memerah minuman untuk keduanya
itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka
ataupun memberikan minuman kepada seorang sebelum keduanya, baik pada keluarga
atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka
itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun
menyingsinglah, anak-anak kecil sama menangis karena kelaparan dan mereka ini
ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka
minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan
niat benar-benar mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang
kita hadapi dari batu besar yang menutup ini." Batu besar itu tiba-tiba
membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua. Yang lain
berkata: "Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman wanita
-jadi sepupu wanita- yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian
manusia -dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan
orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita- kemudian saya menginginkan
dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia
memperoleh kesukaran. Iapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus
duapuluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan
antara tubuhku -maksudnya berhubungan intim. Ia berjanji sedemikian itu.
Setelah saya dapat menguasai dirinya -dalam sebuah riwayat lain disebutkan:
Setelah saya dapat duduk diantara kedua kakinya- sepupuku itu lalu berkata:
"Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin -maksudnya cincin di
sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini-
melainkan dengan haknya -yakni dengan perkawinan yang sah-, lalu sayapun
meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh
manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah,
jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan
keridhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini."
Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat
keluar dari dalamnya. Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya
mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya
masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi.
Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi.
Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata:
Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua
yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa
unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah,
janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan
engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring
dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang
sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita
dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka
lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Ada beberapa kandungan yang penting-penting dalam hadits di
atas, yaitu:
Kita disunnahkan berdoa kepada Allah di kala kita sedang
dalam keadaan yang sulit, misalnya mendapatkan malapetaka, kekurangan rezeki
dalam kehidupan, sedang sakit dan lain-lain.
Kita disunnahkan bertawassul dengan amal perbuatan kita
sendiri yang shalih, agar kesulitan itu segera lenyap dan diganti dengan
kelapangan oleh Allah Ta'ala. Bertawassul artinya membuat perantaraan dengan
amal shalih itu, agar permohonan kita dikabulkan olehNya. Bertawassul dengan
cara seperti ini tidak ada seorang ulamapun yang tidak membolehkan. Jadi
beliau-beliau itu sependapat tentang bolehnya. Juga tidak diperselisihkan oleh
para alim-ulama perihal bolehnya bertawassul dengan orang shalih yang masih
hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayidina Umar r.a. dengan bertawassul
kepada Sayidina Abbas, agar hujan segera diturunkan. Yang diperselisihkan ialah
jikalau kita bertawassul dengan orang-orang shalih yang sudah wafat, maksudnya
kita memohonkan sesuatu kepada Allah Ta'ala dengan perantaraan beliau-beliau
yang sudah di dalam kubur agar ikut membantu memohonkan supaya doa kita
dikabulkan. Sebagian alim-ulama ada yang membolehkan dan sebagian lagi tidak
membolehkan. Jadi bukan orang-orang shalih itu yang dimohoni, tetapi yang
dimohoni tetap Allah Ta'ala jua, tetapi beliau-beliau dimohon untuk ikut
membantu mendoakan saja. Kalau yang dimohoni itu orang-orang yang sudah mati,
sekalipun bagaimana juga shalihnya, semua alim-ulama Islam sependapat bahwa
perbuatan sedemikian itu haram hukumnya. Sebab hal itu termasuk syirik atau
menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta'ala yang Maha Kuasa Mengabulkan segala
permohonan. Namun demikian hal-hal seperti di atas hanya merupakan soal-soal
furu'iyah (bukan akidah pokok), maka jangan hendaknya menyebabkan retaknya
persatuan kita kaum Muslimin.
Catatan Kaki:
[1] Orang-orang di zaman Jahiliyah dulu jika
menginginkan atau mengharapkan keridhaan Tuhan, mereka sembelihlah unta sebagai
kurban, lalu darah unta itu disapukan pada dinding Baitullah atau Ka'bah. Kaum
Muslimin hendak meniru perbualan mereka itu, lalu turunlah ayat sebagaimana di
atas.
[2] Semua uraian yang tertera antara -.... - adalah
tambahan terjemahan dari kami sendiri untuk memudahkan pengertiannya dan
gampang memahamkannya. Harap Maklum.
[3] Saidina Umar bin Khaththab r.a. itu adalah seorang
khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama kali menggunakan sebutan Amirul
mu'minin pemimpin sekalian kaum mu'minin. Beliau adalah khalifah kedua
sepeninggal Rasulullah s.a.w. Panggilan Amirul mu'minin itu lalu dicontoh dan
diteruskan oleh khalifah Usman dan Ali radhiallahu 'anhuma, juga oleh para
khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu
Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah gelar
kehormatan bagi Sayidina Umar r.a. Abu artinya bapak, sedang hafs artinya
singa. Beliau r.a. memperoleh gelar Bapak Singa, sebab memang terkenal berani
dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan perang, dalam
menegakkan keadilan diantara seluruh rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam
meneterapkan hukuman kepada siapapun. Ringkasnya yang salah pasti ditindak
dengan keras, sedang yang teraniaya dibela dan dilindungi.
[4] Sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak ada hijrah
setelah pembebasan Makkah," oleh para alim-ulama dikatakan bahwa mengenai
hijrah dari daerah harb atau perang yang dikuasai oleh orang kafir ke Darul
Islam, yakni daerah yang dikuasai oleh orang-orang Islam adalah tetap ada
sampai hari kiamat. Oleh sebab itu hadits di atas diberikan penakwilannya
menjadi dua macam: Pertama: Tiada hijrah setelah dibebaskannya Makkah, sebab
sejak saat itu Makkah telah menjadi sebagian dari Darul Islam atau Negara
Islam, jadi tidak mungkin lagi akan terbayang tentang adanya hijrah setelah
itu. Kedua: Inilah yang merupakan pendapat tershahih, yaitu yang diartikan
bahwa hijrah yang dianggap mulia yang dituntut, yang pengikutnya itu memperoleh
keistimewaan yang nyata itu sudah terputus sejak dibebaskannya Makkah dan sudah
lampau pula untuk mereka yang ikut berhijrah sebelum dibebaskannya Makkah itu,
sebab dengan dibebaskan Makkah itu, Islam boleh dikata telah menjadi kokoh kuat
dan perkasa, yakni suatu kekuatan dan keperkasaan yang nyata. Jadi lain sekali
dengan sebelum dibebaskannya Makkah tersebut. Adapun sabda beliau s.a.w. yang
menyebutkan: "Tetapi yang ada adalah jihad dan niat," maksudnya ialah
bahwa diperolehnya kebaikan dengan sebab hijrah itu telah terputus dengan
dibebaskannya Makkah itu, tetapi sekalipun demikian masih pula dapat dicapai
kebaikan tadi dengan berjihad dan niat yang shalih. Dalam hadits di atas jelas
diuraikan adanya perintah untuk suka berniat dalam melakukan kebaikan secara
mutlak dan bahwa yang berniat itu sudah dapat memperoleh pahala dengan hanya
keniatannya itu belaka.
[5] Syi'ib (lereng) yang dimaksudkan di sini ialah
jalan di daerah pegunungan, sedang Wadi (lembah) ialah tempat yang di situ ada
airnya mengalir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar