Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah
ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini:
“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di
dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia
menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan.
Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan
sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau
bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada
seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah
syariat serta menjauhi larangan syariat dan bersabar menghadapi
musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa
‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui
sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan
ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat
Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu
dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu.’ Maka
hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian.
Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian
yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan
larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan
bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal
kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang
menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian
ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat,
sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah
yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar
tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga
Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan
bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk
kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung
ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang
banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa
ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk
menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir
yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan
bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan
hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan,
“Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu
tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada
perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai
dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung
penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa
marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam
bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut
istilah syariat, sabar artinya: “Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari
marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara
merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata
sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana
kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam
menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak
sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak
sekali bagian keimanan.”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah”
artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar
tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang.
Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan perkataan “Minal imaan
ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu
cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu
juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu
harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang
kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar
terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar